Pages

Jumat, 07 Desember 2012

Israel: Boikot, Divestasi, Sanksi

 

Israel: Boikot, Divestasi, Sanksi

Naomi Klein

Sudah saatnya. Seharusnya sudah dari dulu. Strategi terbaik untuk mengakhiri pendudukan yang semakin berdarah ini adalah Israel harus menjadi sasaran dari gerakan global yang mengakhiri apartheid di Afrika Selatan.
Pada Juli 2005, koalisi besar dari sejumlah kelompok Palestina merumuskan rencana untuk melakukan hal tersebut. Mereka berseru kepada “rakyat berhati nurani di seluruh dunia untuk melancarkan boikot meluas dan menginisiatifkan divestasi terhadap Israel serupa dengan yang diterapkan terhadap Afrika Selatan pada era apartheid.” Lahirlah kampanye Boikot, Divestasi dan Sanksi – disingkat BDS.
Tiap hari Israel menggempur Gaza, semakin banyak yang bergabung dengan perjuangan BDS, dan pembicaraan gencatan-senjata hanya sedikit berpengaruh dalam menahan momentum. Dukungan bahkan datang dari kaum Yahudi Israel. Di tengah serbuan tersebut, sekitar 500 warga Israel, puluhan di antaranya adalah seniman dan akademisi terkenal, mengirimkan surat ke duta besar asing yang bertempat di Israel. Surat tersebut menyerukan “pengadopsian tindakan pembatasan dan sanksi sesegera mungkin” dan menarik persamaan yang jelas dengan perjuangan anti-apartheid. “Boikot terhadap Afrika Selatan adalah efektif, tapi Israel ditanggapi dengan halus… Dukungan internasional ini harus berhenti.”
Namun masih banyak yang tidak bisa menerima. Alasan-alasannya kompleks, emosional dan dapat dipahami. Tapi mereka tidak cukup berdasar. Sanksi ekonomi adalah alat paling efektif di antara berbagai pilihan aksi tanpa-kekerasan. Melepaskan itu begitu saja berarti turut terlibat dalam kejahatan mereka. Ini adalah empat alasan utama yang menolak strategi BDS, disertai dengan argumen tandingannya.
1. Tindakan penghukuman akan mengasingkan bukannya meyakinkan warga Israel. Dunia telah mencoba menggunakan apa yang disebut dengan “pendekatan konstruktif.” Itu telah gagal total. Sejak 2006 Israel terus-menerus mengintensifkan kejahatannya: memperluas hunian, melancarkan perang biadab melawan Libanon dan menerapkan hukuman kolektif terhadap Gaza melalui blokade yang brutal. Meskipun terjadi peningkatan intensitas ini, Israel tidak berhadapan dengan tindakan hukuman — justru sebaliknya. Persenjataan dan bantuan senilai $3 milyar pertahun yang diberikan AS kepada Israel hanyalah permulaan. Selama periode yang penting ini Israel telah menikmati peningkatan dramatis dalam hubungan diplomatik, budaya dan perdagangan dengan berbagai sekutu lainnya. Contohnya, pada 2007 Israel menjadi negeri non-Amerika Latin pertama yang menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Mercosur. Dalam sembilan bulan pertama tahun 2008, ekspor Israel ke Kanada meningkat sebesar 45 persen. Perjanjian dagang baru dengan Uni Eropa akan menggandakan ekspor pangan olahan Israel. Dan pada 8 Desember, menteri-menteri Eropa “menambah” Kesepakatan Asosiasi UE-Israel, suatu hadiah yang lama dinanti oleh Yerusalem.*
Dalam konteks inilah para pimpinan Israel memulai perang mereka yang terkini: dengan kepercayaan diri bahwa mereka tidak akan menanggung pengorbanan yang berarti. Sungguh luar biasa bahwa dalam tujuh hari perdagangan saat perang, index utama (flagship index) Pasar Modal Tel Aviv nyatanya naik 10,7 persen. Bila bujukan tidak berhasil, maka perlu digunakan paksaan.
2. Israel bukan Afrika Selatan. Tentu saja bukan. Relevansi model Afrika Selatan adalah ia membuktikan bahwa taktik BDS dapat efektif ketika tindakan yang lebih lunak (protes, petisi, lobi-lobi ruang belakang) telah gagal. Dan memang terdapat persamaan yang sangat mencemaskan: Tanda Identitas Diri dengan kode-warna dan ijin perjalanan, rumah-rumah yang dibuldoser dan pengungsian paksa, jalanan yang hanya diperuntukkan bagi warga hunian. Ronnie Kasrils, politikus Afrika Selatan yang terkenal, mengatakan bahwa arsitektur segregasi yang dilihatnya di Tepi Barat dan Gaza pada 2007 adalah “jauh tak terhingga lebih parah dibandingkan apartheid.”
3. Kenapa menyudutkan Israel ketika Amerika Serikat, Inggris dan negeri-negeri Barat lainnya melakukan hal yang sama di Irak dan Afghanistan? Boikot bukanlah dogma, melainkan taktik. Alasan mengapa strategi BDS perlu dicoba terhadap Israel adalah praktis: dalam sebuah negeri yang sangat kecil dan bergantung pada perdagangan, itu sesungguhnya dapat berhasil.
4. Boikot memutus komunikasi; kita membutuhkan dialog yang lebih banyak, bukannya lebih sedikit. Yang satu ini akan saya jawab dengan cerita pribadi. Selama delapan tahun, buku saya telah diterbitkan di Israel oleh penerbit komersial bernama Babel. Tapi ketika saya menerbitkan The Shock Doctrine, saya hendak menghormati boikot itu. Atas saran seorang aktivis BDS, saya menghubungi sebuah penerbit kecil bernama Andalus. Andalus adalah pers aktivis yang terlibat secara mendalam dengan gerakan anti-pendudukan dan satu-satunya penerbit Israel yang mendedikasikan secara khusus penerjemahan tulisan Arab ke bahasa Ibrani. Kami menulis kontrak yang menjamin bahwa semua keuntungan adalah untuk proyek-proyek Andalus, tidak ada yang ke saya. Dengan kata lain, saya memboikot ekonomi Israel tapi bukan warga Israel.
Untuk melakukan rencana ini dibutuhkan puluhan telepon, e-mail dan sms, dari Tel Aviv ke Ramallah ke Paris ke Toronto ke Kota Gaza. Maksud saya adalah: ketika Anda menerapkan strategi boikot, dialog meningkat secara drastis. Dan kenapa tidak? Membangun sebuah gerakan membutuhkan komunikasi tanpa henti, mereka yang sebelumnya terlibat dalam perjuangan anti-apartheid perlu dikontak kembali. Argumen yang menyatakan bahwa mendukung boikot akan memutus hubungan kita dari lainnya sebenarnya keliru dengan berserakannya teknologi informasi murah di ujung jari kita. Kita menenggelamkan diri kita dalam seruan kepada yang lain hingga melintasi batas-batas negara. Tidak ada boikot yang dapat menghentikan kita.
Detik ini saja begitu banyak kaum Zionis congkak yang berupaya mencatat skor besar: tidakkah saya tahu bahwa banyak barang-barang berteknologi-tinggi itu berasal dari taman-taman penelitian Israel, pemimpin dunia dalam teknologi informasi? Benar memang, tapi tidak semuanya. Beberapa hari setelah serbuan Israel ke Gaza, Richard Ramsey, direktur manajer perusahaan telekom Inggris, mengirimkan sebuah e-mail kepada firma teknologi Israel MobileMax. “Akibat tindakan pemerintah Israel dalam beberapa hari belakangan ini kami tidak lagi dalam posisi untuk mempertimbangkan kerjasama bisnis dengan Anda atau perusahaan Israel lainnya.” Saat dihubungi oleh The Nation, Ramsey mengatakan bahwa keputusannya bukanlah politis. “Kami tidak mampu kehilangan pelanggan kami, jadi itu murni tindakan bertahan secara komersial.”
Adalah kalkulasi bisnis yang dingin semacam ini yang menyebabkan banyak perusahaan menarik diri dari Afrika Selatan dua dekade lalu. Dan tepatnya inilah kalkulasi serupa yang menjadi harapan paling realistis kita untuk menghadirkan keadilan yang telah lama dihilangkan kepada Palestina.
Bacaan lebih lanjut: Disengagement and the Frontiers of Zionism
____
* Pada 14 Januari, merespon agresi Israel terhadap Gaza, Uni Eropa membatalkan rencananya untuk menambahkan Kesepakatan Asosiasi UE-Israel, suatu pertanda semakin ada pemahaman bahwa sanksi politik dapat dipergunakan untuk mengakhiri perang.
Naomi Klein adalah jurnalis penerima-penghargaan, kolumnis dan penulis dari beberapa buku terlaku menurut New York Times dan secara internasional The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (September 2007); No Logo: Taking Aim at the Brand Bullies; dan koleksi Fences and Windows: Dispatches from the Front Lines of the Globalization Debate (2002).
http://nefos.org/?q=node/64
Filed under: Berita, ,

Sumber : http://indonesiaforpalestine.wordpress.com/2009/06/15/israel-boikot-divestasi-sanksi/

0 komentar:

Posting Komentar